Daging Ayam [CERPEN]

3/27/2016 08:26:00 AM


 Foto: fineartamerica.com (Portrait Drawing - Old Man by David Tierney)



Adzan Magrib baru selesai berkumandang. Seorang bocah laki-laki berusia 14 tahun sedang mengambil air wudhu di kamar mandinya. Dia membasuh wajah hingga ujung kakinya dengan syahdu. Setelah itu, dia berjalan menuju kamarnya, menggelar sajadah menghadap kiblat dan memakai sarung kotak-kotaknya yang berwarna hijau. Dengan suara yang pelan dia panjatkan niat untuk sholat magrib.

Sebuah suara wanita dewasa memanggil-manggil nama bocah laki-laki ini dari luar kamarnya. Berkali-kali suara itu memanggil, tapi tak ada sautan dari bocah ini. Merasa kesal, wanita ini membuka kamar si bocah. Betapa kagetnya dia, hatinya langsung merasa bersalah karena tadi merasa kesal panggilannya tak disauti. Ternyata anak semata wayangnya ini sedang sholat. Dia pun beranjak kembali ke ruang tamu yang sekaligus menjadi ruang keluarga. Duduk di shofa sambil menulis sesuatu di sebuah kertas. Sesekali tangannya menekan tombol-tombol pada kalkulator yang juga ada di depannya.

“Ada apa, Bu?” Tanya bocah itu setelah selesai sholat. Ia duduk di sebelah wanita yang adalah Ibunya itu. 

“Ibu ada pesanan mendadak. 20 potong ayam bakar buat besok pagi. Kamu tolong belikan daging ayam sekarang ya.” Mohon Ibunya sambil tetap fokus pada secarik kertas tadi. Bocah itu mematuhi Ibunya tanpa basa-basi. Ibunya ini memang mempunyai bisnis kecil-kecilan, sebuah katering. Dia biasa menerima pesanan makanan atau kue dari para kliennya yang kebanyakan adalah tetangga-tetangganya di komplek sebelah yang jetset, yang seminggu bisa 3 hingga 5 kali arisan. Bisnis ini adalah satu-satunya sumber ekonomi keluarganya. Bapaknya sudah lama meninggal dan tidak meninggalkan apapun yang bisa mengisi perut mereka setiap harinya. Beruntung, ibunya pandai dalam memasak, sehingga mereka tetap bisa memperoleh pundi-pundi nasi.

“Amir, ini uangnya. Kamu tau kan tempatnya?” Tanya Ibunya sambil menyerahkan selembar lima puluh ribu kepada Bocah yang bernama Amir ini. Amir hanya mengangguk dan segera keluar rumah. Dia ambil sepeda bututnya yang dia parkir tepat di teras rumah. Dengan suara reot setiap kali dia mengayuh pedal sepedanya, dia membelah bintang-bintang malam ibu kota yang tak pernah terlihat. Amir mengayuh sepeda reotnya menuju sebuah pasar di dekat kampung tempat dia tinggal. Pasar ini sangat ramai saat pagi. Bahkan terkadang hingga sore pun masih banyak pembeli yang datang. Saat malam, hanya beberapa kios saja yang buka. Dia sudah sering berbelanja di pasar ini, bahkan ibunya sudah mempunyai langganan kios untuk tempat membeli bahan-bahan kateringnya. Biasanya kios-kios langganannya ini masih buka hingga malam.

Amir pun segera masuk ke jalanan di dalam pasar dengan tetap mengayuh sepedanya. Dia merasa tidak perlu memarkir sepedanya di depan. Toh, sudah jarang orang di pasar, sehingga jikapun sepedanya masuk tidak akan mengganggu siapapun. Beberapa tikungan dia lalui, hingga akhirnya dia tiba di depan kios yang menjadi langganannya. Kios ini menjual berbagai sayur-mayur, ikan, dan daging ayam. Dia sudah sampai tempat tujuan, tapi dia tidak turun dari sepeda. Dia malah bengong melihat kios tujuannya itu dalam keadaan gelap dengan rolling door yang tertutup rapat melindungi isi di dalamnya. 'Sial' batinnnya.

“Mang Badrun lagi pulang kampung, Mir. Bapak mertuanya baru aja meninggal sebelum Magrib tadi. Jadi dia harus pulang kampung mendadak. Baru aja setengah jam yang lalu dia tutupnya.” Ujar seorang laki-laki pada Amir yang bengong. Amir menoleh, mencari tau suara siapa itu. Rupanya suara Bang Beni, tukang ikan langganannya, yang kiosnya juga gak jauh dari kios Mang Badrun.

“Innalilaihi. Makasih Bang....” Ada sedikit jeda. Amir masih bingung harus membeli ayam di mana. “....Abang tau gak kios ayam lainnya yang masih buka?” Tanya Amir pada Bang Beni, berharap Bang Beni bisa memberinya solusi.

“Ada. Di kios bagian belakang pasar biasanya masih ada yang buka tuh tukang daging. Jual daging ayam juga.” Jawab Bang Beni semangat. Amir yang mendengar hal itu langsung riang. Dia langsung mengayuh sepeda reotnya lagi menuju bagian belakang pasar setelah mengucapkan terima kasih kepada Bang Beni yang hanya dibalas dengan senyuman yang sangat ramah dari Bang Beni. Senyuman ramah yang jarang Amir dapatkan darinya, karena setau Amir Bang Beni adalah orang yang sangat serius dan tegas. Dia jarang sekali tersenyum pada siapapun, bahkan istrinya sendiri.

Tanpa dia sadari dia sudah memasuki bagian belakang pasar. Bagian ini sangat gelap jika malam dan hampir tidak ada aktivitas. Hampir semua kios di sini tutup jika malam, hanya sebuah kios rokok kecil di ujung bagian belakang dekat jalanan kampung saja yang buka. Amir tidak pernah tau kalau masih ada kios daging yang buka pada malam hari di sebalah sini. Sebenarnya Amir adalah anak yang penakut. Bulu kuduknya sudah mulai bangun saat dia memasuki daerah yang gelap ini. Tetapi karena dia harus mendapatkan daging ayam malam ini juga, maka dia nekat dan berusaha sesantai mungkin agar cepat menemukan kios yang dimaksudkan oleh Bang Beni.

Tak lama kemudian, beni menemukan sebuah kios dengan lampu yang sangat terang. Itu adalah kios daging yang dia cari. Tanpa menunggu lama, dia segera mengatakan pesanannya pada bapak-bapak tua berjenggot putih dengan kaos singlet yang menjaga kios. Bapak itu melayani Amir dengan tanpa ekspresi dan minim bicara. Membuat Amir makin merasa aneh dan takut. Setelah membayar, Amir segera pergi. Dia memilih melewati jalanan kampung belakang pasar, karena ogah untuk lewat jalanan gelap tadi sekali lagi. Tepat saat melewat kios rokok yang ada di belakang pasar, sebuah suara memanggilnya. Amir menengok, ternyata Mang Badrun yang memanggil. Beni langsung berhenti dan heran.

“Dari mana Mir?” Sapa Mang Badrun sambil membuka bungkus rokoknya yang baru saja ia beli di kios.

“Dari, kios beli daging ayam...Lho, katanya Mamang lagi pulang kampung. Kok ada di sini?” Tanya Amir penuh tanda tanya.

“Kata siapa? Ini Mamang baru aja pulang. Tadi habis ngelayat sama temen-temen di pasar.”

“Ngelayat ke rumah mertua Mamang? Lho, bukannya rumah....” Tanya Amir makin heran. Belum sempat kalimatnya selesai, Mang Badrun sudah memotongnya.

“Ngelayat ke rumah mertua Mamang gimana? Tadi habis ngelayat ke rumah Bang Beni. Bang Beni baru aja meninggal tadi sore sebelum magrib. Dia kecelakaan di jalan depan pasar waktu mau pulang.” Ujar Mang Badrun yang membuat Amir kaget bukan kepalang. Sekarang kepala Amir bagai disambar petir di malam dingin ini. Rupanya Mang Badrun tidak sadar akan kekagetan Amir, dia tetap nyerocos menceritakan mengenai Bang Beni.

“Jadi, bapaknya Bang Beni yang juga jualan daging di belakang pasar ini meninggal tadi sore. Bang Beni yang syok langsung pulang. Tapi karena gak hati-hati, dia ketabrak truk di depan pasar...kasian......kaki......ban....” suara Mang Badrun mulai samar terdengar oleh Amir. Amir berusaha menengok ke bagian belakang pasar, tempat dia tadi membeli daging ayam. Dia ingin memastikan kios daging ayam yang tadi dia datangi benar-benar ada dan buka.

Mata Amir melotot sejadi-jadinya. Benar, kios itu buka. Tapi hal ini justru makin membuat Amir bergidik ngeri. Dia melihat Bapak tua penjaga kios tadi bersma Bang beni berdiri tepat di depan kios. Mereka melambai kepadanya. Amir bisa melihat senyum ramah dari keduanya. Terutama senyum Bang Beni yang jarang sekali dia lihat. Senyum yang bercampur darah dari kepalanya yang hanya separuh. Saat itu juga Amir pingsan di tempat, di depan Mang Badrun yang masih nyerocos.



Note: Cerpen ini adalah salah satu tugas kuliah penulisan narasi runtut cerita. Silahkan tinggalan kritik dan saran di kolom komentar.

You Might Also Like

2 komentar

  1. harga 20 potong ayam cuma 5o ribu? (gagal fokus)

    BalasHapus
    Balasan
    1. 20 potong. bukan 2 ekor. lagian motongnya kecil kecil jadi murah. bhahahak! ;p

      Hapus